Peru Akan Punya 14 Unit F-16 Blok 70 – HobbyMiliter.com. Ada pepatah lama di Amerika Latin: “Kalau tetangga ganti mobil baru, jangan-jangan jalanan kampung ikut jadi ajang pamer.” Nah, pepatah itu rasanya pas untuk menggambarkan apa yang baru saja terjadi di sana. Setelah Brazil belanja Gripen, lalu Argentina diijinkan beli F-16 eks Denmark, sekarang giliran Peru yang belanja pesawat tempur. Negara Amerika Selatan yang berada di pesisir Pasifik ini akhirnya mendapat lampu hijau dari Washington untuk membeli 14 unit F-16 Fighting Falcon Block 70—varian terbaru dari jet tempur legendaris yang sudah malang melintang di lebih dari 25 negara. Nilai kontraknya? Sekitar USD 3,42 miliar. Angka yang bikin banyak analis pertahanan garuk-garuk kepala sambil menghitung: berapa banyak alpaka yang bakal harus dijual untuk membayar pesawat itu?
Peru bukan pemain baru dalam dunia jet tempur. Sejak era 1970-an, Fuerza Aérea del Perú (FAP) punya inventori campur-aduk: Dassault Mirage 5 buatan Prancis, tulang punggung AU Peru di masa Perang Dingin. Lalu MiG-29 Fulcrum buatan Rusia, konon beli sekondhand dari Belarus, didatangkan 1996–1998, 18 unit, beberapa sudah di-upgrade standar SMP. Sukhoi Su-25 Frogfoot untuk serangan darat, dibeli era 1998. Terakhir, beberapa unit A-37 Dragonfly dan Cessna A-37B untuk COIN (counter-insurgency).
Namun, waktu berjalan. Mirage 5 sudah pensiun, MiG-29 makin sulit dipelihara karena suku cadang Rusia makin susah akibat sanksi internasional. Su-25 pun jam terbangnya terbatas. Artinya, FAP berada di persimpangan: tetap bertahan dengan armada tua, atau lompat ke generasi baru dengan risiko biaya melambung.
Setelah dipikir pikir, ditimbang timbang dan dilobby lobby, akhirnya nampaknya pilihan jatuh ke F-16 Block 70. Kenapa? Karena ini bukan sekadar upgrade kosmetik.
Paket pembeliannya sepertinya akan meliputi radar AESA AN/APG-83 SABR. Inilah jantung teknologi Block 70. Radar AESA (Active Electronically Scanned Array) memungkinkan F-16 mendeteksi target udara sejauh 160 km lebih, melacak puluhan objek sekaligus, bahkan punya mode untuk serangan darat presisi. Kalau dibandingkan, MiG-29 jadul Peru seperti pakai “mata kucing malam” sementara Block 70 sudah pakai kamera 8K dengan night vision.
F-16 Peru juga akan dilengkapi dengan kokpit canggih dengan layar lebar, sistem misi digital, kompatibilitas dengan Link 16 NATO. Pilot Peru yang terbiasa dengan kokpit jarum analog Su-25 mungkin akan merasa seperti sopir angkot pindah ke Tesla—butuh adaptasi, tapi hasilnya revolusioner.
F-16 Peru menggunakan mesin F110-GE-132. Daya dorong lebih dari 32.000 lbf, membuat F-16 Block 70 bisa melaju Mach 2, dengan radius tempur ± 550 km tanpa pengisian bahan bakar. Untuk ilustrasi, radius tempur itu setara terbang jarak Jakarta–Surabaya-Jakarta dalam satu kali terbang. Dan yang paling penting, sudah nggak berasap hitam lagi, seperti MiG-29 lawasnya.
Untuk persenjataan, F-16 Peru dapat diintegrasikan dengan AIM-120 AMRAAM versi terbaru untuk pertempuran BVR (Beyond Visual Range), AIM-9X Sidewinder untuk dogfight, plus opsi munisi pintar JDAM dan JSOW. Artinya, FAP kini punya kemampuan menembak musuh sebelum musuh sadar dia sedang dibidik.
Dengan paket ini, Peru tidak sekadar membeli pesawat. Mereka membeli paket keanggotaan eksklusif dalam klub negara-negara yang mengoperasikan F-16 modern: Taiwan, Korea Selatan, Bahrain, Slovakia, hingga Bulgaria.
Namun di balik semua kilau teknologi itu, ada sisi lain yang bikin warga negaranya mengernyit.

Peru membeli F-16 Blok 70 ini dengan harga USD 3,42 miliar untuk 14 pesawat. Kalau dihitung kasar, satu unit F-16 Block 70 Peru harganya sekitar USD 244 juta per ekor—hampir setara harga satu Boeing 787 Dreamliner! Kenapa mahal? Karena kontrak ini bukan hanya pesawat, tetapi juga paket lengkap: simulator, pelatihan pilot dan teknisi, persenjataan, radar darat, hingga infrastruktur pangkalan. Harga pesawatnya thok mungkin dibawah setengahnya.
Masalahnya, ekonomi Peru tidak sedang prima. Pertumbuhan melambat, dan rakyat masih menuntut lebih banyak anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Jadi, apakah masyarakat protes? Tentu saja. Bahkan beberapa anggota parlemen sudah menyindir: “Kalau jet ini bisa memberantas kemiskinan, bolehlah kita beli dua skuadron.”
Berbeda dengan MiG-29 yang suku cadangnya bisa dikanibal dari Ukraina atau Belarus (dulu, sebelum perang), F-16 Block 70 murni bergantung pada Lockheed Martin dan jaringan supply chain Amerika. Artinya, setiap baut, radar, hingga software update harus lewat persetujuan Washington. Ini memberi AS leverage politik yang sangat besar atas Peru.
Selain itu, pilot dan teknisi FAP perlu transisi besar-besaran. Training pilot F-16 butuh 9–12 bulan intensif, sementara teknisi harus belajar sistem avionik digital yang jauh lebih kompleks. Dengan kata lain, F-16 bukan “beli langsung gas”—butuh waktu bertahun-tahun hingga benar-benar siap operasional penuh. Sebagai gambaran, Argentina yang membeli F-16 bekas Denmark saja butuh 6-12 bulan juga untuk training.
Kenapa AS rela menjual F-16 ke Peru? Ada faktor operasi semi militer “War on Drugs” milik Presiden Trump. Wilayah Andes adalah salah satu penghasil kokain terbesar dunia, dan jalur penyelundupan ke Amerika Utara ada yang melewati ruang udara Peru. Dengan F-16 baru, Peru bisa lebih efektif menindak pesawat kecil penyelundup narkoba. Washington tentu senang, karena ini berarti lebih sedikit kokain masuk ke pasar AS.
Namun, ada pula kritik: apakah masuk akal menggunakan jet tempur multimiliar dolar untuk mengejar odong odong Cessna kargo narkoba? Bukankah cukup dengan radar darat, UAV, atau helikopter bersenjata? Apalagi sekarang UAV cukup beragam, murah dan canggih.
Tak hanya itu, pembelian ini juga punya implikasi politik: Peru semakin dekat ke orbit Amerika, menjauh dari pengaruh Rusia (MiG, Sukhoi) dan Cina. Bagi negara tetangga, ini sinyal bahwa Peru ingin naik kelas di kawasan.

Yang pasti, bagi AU Peru, kehadiran F-16 Block 70 adalah game changer. Dari segi kualitas, jet ini bisa mengungguli hampir semua inventori tetangga. Chile memang sudah punya F-16 MLU (versi modernisasi) sejak awal 2000-an, sekitar 40 unit. Tapi Block 70 bakal jauh lebih maju berkat radar AESA dan avionik terbaru. Kolombia masih mengandalkan Kfir C10/C12 buatan Israel, yang sudah uzur, walau sudah memutuskan beli Gripen. Ekuador dan Bolivia tidak punya jet tempur sekelas ini. Brasil memang punya Saab Gripen E/F, tapi jatuhnya lebih ringan dari F-16 Blok 70 ini. Terakhir, Argentina memang baru saja membeli F-16, tapi F-16 yang dibelinya dari Denmark merupakan F-16 jadul yang umurnya lebih tua dari sebagian pembaca HobbyMiliter.
Artinya, begitu F-16 Block 70 Peru siap tempur, AU Peru akan menjadi salah satu kekuatan udara paling modern di Amerika Selatan.
Seperti biasanya, pembelian jet canggih memicu efek domino. Chile mungkin merasa perlu upgrade lagi, Brasil bisa mempercepat integrasi Gripen dan menambahnya, dan Kolombia mungkin bisa menambah order Gripennya Inilah yang disebut “arms race dalam skala regional.”
Di sisi lain, Washington berhasil menambah satu lagi “klien F-16.” Dengan lebih dari 4.600 unit diproduksi sejak 1974, F-16 memang dikenal sebagai “Toyota Avanza-nya jet tempur”—murah (relatif), serbaguna, dan mudah dijual. Bedanya, versi Peru ini bukan Avanza gen 1, tapi Avanza terbaru dengan modifikasi lengkap dengan turbo, body kit, dan sound system horeg 3.000 watt.
Apakah pembelian ini akan menjadikan Peru lebih aman? Mungkin. Apakah membuat genggaman Amerika Serikat lebih erat? Pasti. Apakah akan membuat rakyat Peru bangga? Tentu, siapa yang tak bangga punya jet tercanggih se-regional? Orang Indonesia saja sudah senang liat gambar F-15 EX tercanggih dengan roundle segi lima sehalaman penuh Kompas. Padahal cuma iklan.
Namun, di tengah semua gegap gempita ini, ada ironi: pesawat canggih senilai miliaran dolar mungkin akan lebih sering digunakan mengejar pesawat selundupan berisi karung-karung kokain daripada bertempur melawan jet musuh. Bayangkan, F-16 Block 70 yang sanggup menembakkan AIM-120 di jarak 100 km, dipakai untuk mencegat Cessna tua di atas hutan Amazon.
Seperti kata seorang komentator militer lokal sana: “Falcon boleh saja terbang tinggi di Andes, tapi ujung-ujungnya ia mungkin lebih sering dipakai jadi polisi lalu lintas udara.”