Tantangan Pemilikan Kapal Induk TNI AL – HobbyMiliter.com. Kapal induk adalah simbol proyeksi kekuatan maritim yang mutlak. Pangkalan udara terapung yang mampu membawa kekuatan udara jauh ke balik cakrawala. Netizen Indonesia sering bilang, pulau pulau kita bisa menggantikan kapal induk. Konsep yang salah, karena pulau pulau kita, walau dibangun dengan pangkalan udara tercanggih pun, nggak bisa digerakkan kemana juga untuk melakukan fungsi asasi kapal induk: proyeksi kekuatan militer. Taktik lompat katak jendral McArthur di Perang Dunia ke dua membuktikan, pemusatan pertahanan pulau pulau Pasifik yang dilakukan Jepang, nggak banyak berguna.
Karena itulah, kepemilikan kapal induk merupakan kekuatan yang didambakan banyak negara. Namun, kekuatan besar itu datang dengan harga yang sangat tinggi. Kompleksitasnya teknis, memerlukan logistik raksasa, dan risiko pembiayaan menggunung yang bisa mempengaruhi strategi jangka panjang angkatan laut.
Kasus terbaru terkait kompleksnya kepemilikan kapal induk datang dari Amerika Serikat. USS John C. Stennis (CVN-74), salah satu dari kapal induk kelas Nimitznya sejak tahun 2021 telah menjalani Refueling and Complex Overhaul (RCOH – Overhaul yang dilakukan 25 tahun sekali). Dan hingga saat ini, 2025 tertahan di galangan jauh lebih lama daripada rencana awal. Kapal ini sudah nyaris 5 tahun nggak nyemplung melaut!
Seharusnya, sesuai perjanjian kontrak, pekerjaan overhaul selesai lebih cepat dan bisa kembali melaut di tahun ini. Namun berbagai hambatan datang, mulai dari efek pandemi, kekurangan tenaga kerja dan suku cadang, hingga temuan kerusakan komponen tak terduga, telah membuat jadwal mundur sekitar 14 bulan, sehingga Stennis diperkirakan baru kembali aktif Oktober 2026.
USS John C. Stennis (CVN-74) sendiri adalah kapal induk raksasa yang mulai bertugas pada 1995, dengan bobot sekitar 103.300 ton dan mampu mengangkut puluhan pesawat, plus ratusan awak di dalamnya.
Masalah pada kapal induk Stennis ini mengingatkan kita pada masalah kapal induk Russia Admiral Kuznetsov. Admiral Kuznetsov, kapal induk satu satunya milik Angkatan Laut Russia yang terkenal dengan asap hitamnya yang khas, mulai naik dok menjalani overhaul di tahun 2017, setelah melakukan dukungan operasi militer di Suriah. Dalam perjalanan overhaulnya, ternyata situasinya lebih parah sedikit dari Stennis.
Kuznetsov hingga sekarang, 8 tahun kemudian, masih nggak jelas nasibnya, setelah didera kecelakaan, kebakaran, kerusakan dock, dan korupsi yang memperparah penundaan selesainya overhaul. Bahkan saking parah kondisinya, pihak Rusia sekarang mempertimbangkan untuk membuangnya (scrap) karena biaya perbaikannya sudah dianggap nggak layak. Mungkin pikirnya, uangnya lebih baik dibelikan gerombolan Shahed, lebih efektif.
Terlebih bedanya, Amerika masih mempunyai banyak kapal induk siap operasi walaupun Stennis molor dari jadwal dan sudah 5 tahun nggak melaut, sedangkan Russia nggak punya kapal induk lagi. Kosong. Melompong.
Di sisi lain, China justru memperbanyak armada kapal induknya: dari Liaoning (bekas kapal Soviet), lalu Shandong, dan mereka tengah menguji coba kelas kapal induk generasi baru Fujian yang akan memperkuat proyeksi udara maritim mereka.
Situasi ini memperjelas kenyataan hidup: bahkan superpower seperti Russia dan Amerika pun harus bergulat dengan fakta bahwa memelihara kapal induk itu mahal, sulit, dan rentan delay — terlebih jika infrastruktur industri pendukung lemah atau beban ekonomi tinggi.
Bukan cukup punya kapal induk, tapi harus punya kapasitas pemeliharaan, dock panjang dan besar, industri kapal, suku cadang domestik, dan sistem pendukung logistik yang mampu menjaga kapal induk tetap operasional.
Lalu, bagaimana posisi Indonesia dalam “permainan” ini, terutama jika TNI AL tertarik membeli kapal induk bekas Italia?