Tujuan serangan besar-besaran ini tidak untuk merebut kota Solo, melainkan untuk menunjukkan bahwa TNI masih mempunyai kekuatan dan mampu mendukung perjuangan diplomasi, memberikan dukungan moral bagi rakyat dan membuat pukulan yang telak bagi musuh. Juga untuk menunjukan kepada dunia bahwa TNI bukanlah gerombolan ekstrimis, teroris dan penjahat seperti yang sering dituduhkan Belanda. Slamet Riyadi ingin menunjukkan bahwa TNI adalah suatu organisasi ketentaraan bersenjata lengkap dan mempunyai battle order yang teratur dan berdisiplin, seperti layaknya suatu badan ketentaraan yang profesional.

BACA JUGA :  Indonesia Tarik Armada Helikopter Dari MINUSMA

Serangan tersebut dimulai pada 7 Agustus 1949 pagi hari. Setiap pasukan gerilya diperintahkan menyerang kedudukan musuh di wilayahnya masing-masing dan membumihanguskan obyek-obyek yang diperlukan. Tak ketinggalan mereka memasang bom di jalanan untuk menghambat gerak bantuan bagi Pasukan Belanda yang diperkirakan datang dari Wonogiri.

Keberhasilan serangan besar-besaran ini membuat Pasukan Belanda menggempur posisi pasukan gerilya TNI dengan artileri dan pesawat terbang, terutama di daerah Pasarnongko, Pasarkembang, Srambatan dan Kampung Patangpuluhan. Korban jiwa pun berjatuhan di kedua pihak yang juga dialami oleh rakyat kota Solo yang terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.

BACA JUGA :  Barret M82A1: Senapan Sniper Anti Material Kepercayaan Kopassus

Barulah pada 11 Agustus 1949 Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan perintah agar pasukannya menjalankan Perintah Presiden Soekarno tanggal 3 Agustus 1949 untuk menghentikan tembak menembak. Selanjutnya pada 20 Agustus 1949 diterbitkan peraturan tentang tata cara pasukan TNI masuk ke kota Solo, sebagai hasil dari perundingan informal antara TNI, Pasukan Belanda dan UNCI (United Nations Commission for Indonesia). Pasukan Belanda pun wajib menyerahkan kota Solo dan sekitarnya secara bertahap kepada TNI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here