Lalu kenapa Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme bisa dianggap sebagai abuse of power?

Berdasarkan Konvensi Genewa khususnya Article 75 Protokol Tambahan Pertama mengatakan:

“who are in the power of a Party to the conflict and who do not benefit from more favorable treatment under the Conventions or under this Protocol shall be treated humanely in all circumstances” and “without any adverse distinction based upon race, colour, sex, language, religion or belief, political or other opinion, national or social origin, wealth, birth or other status, or on any other similar criteria.”

BACA JUGA :  Brahmos ALCM, Tanda Kemajuan Rudal Jelajah India

Yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang harus diperlakukan secara manusiawi dalam segala hal dan tanpa ada perbedaan dikarenakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan kepercayaan, politik atau perbedaan pendapat, kewarganegaraan dan kelas social, atau yang dapat dipersamakan.

Pasal 203 Article 75 juga mengelaborasi Article 3 Konvensi Genewa, yang secara spesifik mengatakan:

“violence to the life, health, or physical or mental well-being of persons” is prohibited, including tliating or degrading treatment, or the threat of such violence or treatment.

BACA JUGA :  Bangkitkan Warisan Soviet, Rusia Bangun Ulang Pangkalan Maritim di Suriah

Kemudian dalam 204 Article 75 disebutkan:

detainees must be informed of the reasons for their detention and must be released as soon as the circumstances justifying their detention cease to exist.

Tidak hanya itu, Pasal 205 Article 75 juga mengatur masalah perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi tersangka, baik ketka menjalani persidangan, mendapatkan informasi mengenai tuntutan dan dakwaan yang diberikan kepadanya serta hak untuk membela diri, dimana semuanya harus dilaksanakan dengan menerapkan asas PRADUGA TAK BERSALAH.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here