Biografi Alex Kawilarang: Sang Pelopor Pembentuk Kopassus – HobbyMiliter.com -Biografi Alex Kawilarang penting bagi masyarakat Indonesia khususnya di kalangan militer karena jasanya terutama sebagai pendiri Kesko TT yang kini dikenal dengan nama Kopassus.
Biografi Alex Kawilarang
Biografi Alex Kawilarang bermula saat beliau dilahirkan tanggal 23 Februari 1920 di Meester Cornelis yang sekarang adalah Jatinegara. Terlahir dari pasangan suami istri yang berasal dari Remboken, Sulawesi Utara, Kawilarang merupakan keturunan suku Minahasa dari sub-suku Toulour. Ayah Kawilarang yang bernama Alexander Herman Hermanus Kawilarang juga merintis karir di militer dengan menjabat sebagai mayor KNIL, sementara ibunya bernama Nelly Betsy Mogot.
Selain ayahnya, sepupu Kawilarang yang bernama Daan Mogot juga memiliki jabatan penting di kemiliteran sebagai direktur Akademi Militer Tangerang sebelum tewas di Pertempuran Lengkong saat berupaya melucuti depot tentara Jepang di tahun 1946.
Saat kecil, Kawilarang menempuh pendidikan dengan sistem pendidikan Eropa komprehensif dengan sekolah di Europeesche Lagere School atau ELS di Tjandi kemudian pindah ke Semarang lalu Cimahi, Jawa Barat. Setelah tamat, Kawilarang pun melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng atau HBS Bandung yang setara dengan SMP/SMA karena masa belajarnya sendiri lima tahun.
Kawilarang kemudian memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya setelah lulus dari pendidikan menengahnya tersebut dengan masuk pendidikan militer. Awal pendidikan militer yang diterimanya adalah di Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL atau Corps Opleiding Reserve Officieren yang disingkat menjadi CORO di tahun 1940 dan berlanjut ke Akademi Militer Kerajaan atau Koninklijk Militaire Academie darurat di Bandung dan Garut periode 1940 hingga 1942.
Di sana dia sekelas dengan beberapa tokoh militer yang terkenal lainnya seperti A. H. Nasution dan T. B. Simatupang. Setelah menyelesaikan pendidikan militernya di sana, Kawilarang ditugaskan di Magelang dengan jabatan sebagai komandan peleton yang kemudian dilanjutkan dengan penugasan kembali ke Bandung sebagai instruktur. Kawilarang juga pernah mengikuti pendidikan militer di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat atau SSKAD di Jakarta.
Semasa mudanya saat pendudukan Jepang di tahun 1943 dan 1944, Kawilarang sering disiksa pasukan Jepang hingga walaupun selamat dari siksaan tersebut namun dia menderita cacat seumur hidup di lengan kanan. Hal tersebut karena pasukan Jepang menganggap orang-orang Manado, Ambon dan Indo memiliki kedekatan dengan Belanda hingga polisi militer Jepang atau Kempeitai sering menyiksa mereka dengan kejam.
Ayah Kawilarang pada tahun 1944 diduga tewas saat menjadi tawanan di kapal kargo Jepang bernama Junyo Maru yang membawa 3.000 tawanan Manado, Ambon, Indo-Eropa, Belanda, Inggris, Amerika Serikat dan Australia serta lebih dari 3.500 Romusha. Kapal kargo Jepang tersebut kemudian ditenggelamkan kapal selam Inggris bernama HMS Tradewind.
Kawilarang selama sisa masa perang bekerja di Sumatera, pekerjaan terakhirnya adalah sebagai kepala pabrik karet di Tanjung Karang yang kini Bandar Lampung yang tepatnya berada di Sumatera Selatan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Kawilarang di tanggal 11 Desember 1945 melanjutkan karir militernya dengan menjabat sebagai perwira penghubung pasukan Inggris di Jakarta dengan pangkat Mayor. Kemudian di Januari 1946 menjadi Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat dengan pangkat Letnan Kolonel dan berlanjut hingga pada Agustus 1946 diangkat menjadi komandan Brigade II/Surya Kencana yang mencakup Sukabumi, Bogor serta Cianjur. Kawilarang memimpin brigade yang termasuk dalam Divisi Siliwangi yang baru terbentuk ini selama Agresi Militer Belanda I. Selain itu Kawilarang juga pernah memimpin Brigade I/Tirtayasa saat dipindahkan ke Yogyakarta.
Saat Indonesia berusaha mengantisipasi Agresi Militer Belanda yang kedua dan juga mempersiapkan pembentukan pemerintah darurat Indonesia di luar Jawa di pertengahan tahun 1948, Kawilarang termasuk di dalam kontingen pemerintah dan pejabat militer di Bukittinggi Sumatera Barat.
Kemudian Kawilarang menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli pada tanggal 28 November 1948 di Sumatera Timur bagian selatan dengan tugas menghentikan pertikaian antar kelompok tentara di daerah tersebut. Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, tepatnya tanggal 1 Januari 1949 Kawilarang ditunjuk menjabat Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah yang sama dengan Ferdinand Lumbantobing ditunjuk sebagai Gubernur.
Karirnya di militer semakin melesat dengan terpilihnya dirinya menjabat Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara di tanggal 28 Desember 1949 sekaligus merangkap sebagai Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat Kolonel. Kemudian Kawilarang diberikan kepercayaan tambahan pada tanggal 21 Februari 1950 saat dirinya diangkat menjadi Panglima Tentara dan Teritorium atau TT I/Bukit Barisan di Medan guna mengantisipasi pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar.
Karir lainnya di militer antara lain pernah menjabat sebagai panglima teritorial di dua komando daerah penting lain, yaitu salah satunya adalah Tentara dan Teritorium VII/Indonesia Timur yang kini Kodam XIV/Hasanuddin di tanggal 15 April 1950 sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi di yang bertujuan menumpas pemberontakan mantan pasukan KNIL termasuk Andi Azis di Makassar. Pertempuran tersebut berakhir tanggal 8 Agustus 1950 setelah negosiasi antara Kawilarang dan Jenderal Belanda, Scheffelaar berhasil.
Di saat bersamaan, Kawilarang juga ditugaskan menangani pemberontakan Kahar Muzakar dan gerakan separatis Republik Maluku Selatan atau RMS yang lebih sengit akibat lawannya merupakan mantan tentara KNIL asal Maluku yang tergabung dalam Green Caps. Namun pada bulan November 1950 pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, akan tetapi salah satu komandan pasukan pimpinan Kawilarang bernama Slamet Riyadi tewas saat hari terakhir kampanye militer. Jabatan keduanya sebagai panglima teritorial di komando daerah penting adalah di Tentara dan Teritorium III/Siliwangi kini Kodam III/Siliwangi di tanggal 10 November 1951.
Pengalaman militernya saat menangani pertempuran di Maluku mendorong Kawilarang untuk membentuk pasukan yang di kemudian hari menjadi cikal bakal Komando Pasukan Khusus atau Kopassus. Hingga pada akhirnya di tanggal 15 April 1952, Kawilarang yang saat itu menjabat Panglima TT III/Siliwangi mewujudkan keinginannya tersebut dengan mendirikan Kesatuan Komando Tentara Teritorium III atau Kesko TT di Batujajar, Jawa Barat.
Dia meminta Moch. Idjon Djanbi yang merupakan mantan komando KNIL untuk melatih unit pasukan tersebut. Atas jasanya tersebut, Kawilarang diangkat menjadi anggota kehormatan Kopassus serta menerima baret merah dalam upacara peringatan ulang tahun ke-47 Kopassus di tahun 1999.
Menurut beberapa sumber yang didapat dalam biografi Alex Kawilarang, disebutkan bahwa dia menikah pertama kalinya dengan Petronella Isabella van Emden pada tanggal 16 Oktober 1952 namun kemudian bercerai pada tahun 1958. Dari pernikahannya tersebut Kawilarang memperoleh dua anak, yaitu Aisabella Nelly Kawilarang dan Alexander Edwin Kawilarang.
Kemudian di tanggal 17 Oktober 1952 terjadi Peristiwa 17 Oktober dimana sejumlah tokoh militer termasuk Kawilarang, A. H. Nasution dan T. B. Simatupang menentang campur tangan pemerintah dalam urusan kemiliteran.
Karir Kawilarang di kemiliteran semakin meningkat saat Mayjen Nasution yang menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada bulan Agustus 1956 menunjuknya sebagai Atase Militer Indonesia di Washington, Amerika Serikat dengan pangkat Brigadir Jenderal. Kawilarang menganggap penawaran posisi tersebut oleh Nasution diterima karena dirinya mau memperoleh lebih banyak pengetahuan serta pengalaman militer di luar negeri.
Pada tanggal 2 Maret 1957 akibat rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat yang kurang memperhatikan otonomi daerah, maka Ventje Sumual mendeklarasikan Piagam Perjuangan Semesta dan gerakan Permesta yang berpusat di Manado dan Minahasa. Kawilarang memantau situasi gerakan yang bersatu dengan gerakan terpisah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang ada di Sumatera dari Washington dan mengambil kesimpulan penyebab krisis regional tersebut adalah pemerintah pusat di Jawa.
Kemudian saat mendengar bahwa kampung halaman nenek moyangnya, Manado di bom AURI bulan Februari 1958, Kawilarang pun mengirim kawat kepada Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Mayor Jenderal A. H. Nasution yang menyatakan dirinya mundur dari jabatannya di Washington dan beralih ke Sulawesi Utara pada tanggal 22 Maret 1958. Kawilarang disebutkan menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi di tahun 1958 dan kemudian sebagai Kepala Staf Angkatan Perang APREV dengan pangkat Mayor Jenderal selama periode Februari 1959 sampai Februari 1960.
Akan tetapi Kawilarang bersikeras dirinya bukan bagian dari kekuatan militer PRRI karena tidak menyetujui konsep politik mereka yang memiliki kecenderungan melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dirinya hanya menerima jabatan Panglima Besar APREV tersebut karena merupakan sayap militer Permesta.
Kawilarang merupakan satu-satunya perwira yang tidak segera diberhentikan secara tidak hormat dari militer oleh pemerintah pusat atas partisipasinya dalam Permesta dan PRRI, karena pemerintah pusat masih berharap dia berubah pikiran. Namun Kawilarang memutuskan mendukung Permesta dan menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Permesta. Kendati banyak petinggi di Permesta yang merasa diri mereka senasib sepenanggungan dengan PRRI namun Kawilarang menentangnya dan menganggap bahwa tujuan politik keduanya berbeda.
Pada tahun 1961 pasukan dari pemerintah pusat yang terdiri dari para mantan perwira bawahan Kawilarang berhasil meredam perlawanan Permesta hingga akhirnya konflik terselesaikan secara damai lewat upaya F. J. Tumbelaka. Selama periode April hingga Mei 1961 dilaksanakan beberapa upacara sebagai tanda penerimaan secara resmi pasukan Permesta oleh pemerintah Indonesia.
Pada upacara tanggal 14 April 1961 yang dihadiri Mayjen Hidayat dan Brigjen Achmad Yani dari TNI, Kawilarang turut berpartisipasi setelah sebelumnya tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu TNI menghadapi komunis di Jawa. Di kemudian hari, Kawilarang menyesal saat Nasution tidak menepati janji.
Kawilarang setelah bercerai dengan istri pertamanya kembali menikah dengan Henny Olga Pondaag yang merupakan mantan istri Ventje Sumual dan memperoleh seorang anak yang dinamakan Pearl Hazel Kawilarang. Kemudian pada upacara di Manado tanggal 29 Juli 1961, dirinya menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden atau Keppres 322/1961. Setelah namanya direhabilitasi dan berbagai tuduhan resmi yang menyatakan dirinya sebagai pemberontak dihapus, Kawilarang memutuskan pensiun dari dinas TNI dengan pangkat yang diturunkan menjadi Kolonel Purnawirawan.
Tuduhan resmi yang menyatakan dirinya sebagai pemberontak mengacu pada surat rahasia Kejaksaan Agung Nomor Plk. A1/6181/762 yang ditujukan kepada Mahkamah Agung pada tanggal 27 Oktober 1958. Kejaksaan Agung mewakili Pemerintah Republik Indonesia lewat surat tersebut menuduh Kawilarang bersekongkol dengan pemberontak dan mengadakan pertemuan di Singapura tanggal 8 Oktober 1958 yang membahas berbagai cara menghantam Pemerintah Republik Indonesia guna mengacaukan perekonomian Indonesia..
Kawilarang sempat menyatakan dalam biografinya bahwa kehidupannya sebagai tentara berakhir sejak Maret 1958. Banyak pihak yang mengatakan bahwa Kawilarang merasa trauma dengan dunia tentara, terutama saat Kawilarang tidak menyetujui niat putranya, Edwin Kawilarang untuk masuk Akademi Militer di tahun 1973.
Setelah pensiun, Kawilarang tetap aktif dalam komunitas pensiunan militer dan Pepabri atau Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-POLRI dan juga mengajukan proposal untuk mendirikan pabrik tepung terigu di akhir 1960 yang diizinkan Soemitro Djojohadikoesoemo yang menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan saat itu. Akan tetapi Presiden Soeharto kemudian mengalihkan izin tersebut kepada Bogasari. Kawilarang kemudian menjabat sebagai wakil manajer umum Jakarta Racing Management yang mengelola pacuan kuda di Pulomas pada tahun 1972. Karena itulah kompetisi balap kuda nasional yang diadakan tiap tahun kemudian diberi nama AE Kawilarang Memorial Cup.
Pada tanggal 15 April 1999 Kawilarang memperoleh pengakuan atas jasanya dalam pembentukan Kopassus hingga pada peringatan ulang tahun Kopassus ke-47 yang dilaksanakan di Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur, dirinya diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus dan dianugerahi baret merah serta pisau komando sebagai tandanya.
Kawilarang yang dikenang sebagai tentara asli yang jujur dan tidak main politik menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 6 Juni 2000 saat berusia 80 tahun. Jenazahnya lalu disemayamkan pada Ruang Sudirman, berada di Markas Kodam III/Siliwangi Bandung diikuti dengan pelaksanaan upacara militer yang dipimpin Pangdam III/Siliwangi Mayjen Slamet Supriyadi. Kawilarang pun kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra yang terdapat di Bandung.
Sekian biografi Alex Kawilarang yang banyak berjasa dalam kemiliteran bangsa Indonesia, semoga semua jasa serta perjuangannya senantiasa dikenang serta dihargai dengan selayaknya dan semestinya oleh segenap masyarakat Indonesia.