Biografi Pierre Tendean: Ajudan Dari Jenderal AH Nasution – HobbyMiliter.com – Biografi Pierre Tendean sebagai salah satu perwira militer Indonesia yang menjadi korban Gerakan 30 September tahun 1965 patut diketahui masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga walaupun Tendean bukan merupakan target utama namun pengorbanannya menyelamatkan nyawa target utama yang merupakan atasannya, Jenderal Nasution.
Biografi Pierre Tendean
Lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia yang kini dikenal dengan nama kota Jakarta, Tendean merupakan anak kedua dari pasangan Dr. A. L. Tendean yang merupakan dokter berdarah Minahasa dan istrinya Maria Elizabeth Cornet wanita Indo berdarah Perancis. Tendean yang merupakan putra satu-satunya pasangan tersebut memiliki seorang kakak bernama Mitze Farre dan adik bernama Rooswidiati.
Bernama lengkap Pierre Andries Tendean yang diambil dari nama kakek dari pihak ibunya, nama Pierre sarat dengan unsur Perancis yang mengandung makna kuat bagaikan batu, sungguh merupakan lambang ketegaran hidup. Menurut biografi Pierre Tendean yang resmi berjudul Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi hasil suntingan Abie Besman, nama Pierre sekaligus mengandung doa kedua orang tuanya agar kiranya putra mereka senantiasa tegar serta memegang teguh prinsip hidupnya.
Tendean sempat mengenyam bangku pendidikan di sekolah dasar di Magelang, namun pada tahun 1950 keluarganya pindah ke Semarang yang membuat dirinya tumbuh besar sebagai seorang pria Jawa tulen yang medok. Tendean kecil pun melanjutkan sekolahnya di SMP dan SMA yang ada di Semarang.
Sejak kecil Tendean sudah menetapkan pilihannya untuk mengabdi pada negara dengan bergabung ke Akademi Militer. Namun keluarganya ingin Tendean menjadi lulusan insinyur ITB atau seorang dokter mengikuti jejak ayahnya. Tekad kuatnya akhirnya membuahkan hasil saat dirinya berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat atau ATEKAD yang berlokasi di Bandung di tahun 1958 dan mengawali karirnya di jalur militer di satuan zeni tempur.
Saat menjadi taruna, Tendean sempat menjalani tugas praktek lapangan dalam operasi militer yang digelar dengan tujuan menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang terjadi di Sumatera.
Selama menjalani pendidikannya tersebut, dirinya kerap diejek sesama taruna akibat parasnya yang bule dan kulit putihnya. Dirinya pernah berang akibat sindiran yang menyebutkan dirinya sebagai Indo dilontarkan rekan sesama taruna kepadanya. Selain itu menurut karibnya di ATEKAD, Brigjen (Purn.) Efendi Ritonga, rekan sesama tarunanya juga pernah mengatakan bahwa rasa nasionalisme Tendean lebih rendah dibanding nasionalisme taruna bukan Indo.
Pada tahun 2961, Tendean berhasil lulus dari Akademi Militer dan berpangkat letnan dua. Saat itu Tendean diangkat menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II atau Bukit Barisan yang berlokasi di Medan. Setelah setahun berjalan, Tendean kembali mengenyam pendidikan militernya di sekolah intelijen yang berada di Bogor.
Kemudian sesaat setelah kelulusannya dari sekolah intelijen tersebut, Tendean ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat atau DIPIAD. Penugasannya tersebut menempatkan dirinya sebagai mata-mata ke Malaysia dengan tugas memimpin sekelompok relawan di beberapa untuk menyusup ke Malaysia untuk mengatasi konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia.
Karir Tendean kemudian mengalami peningkatan saat dirinya dipromosikan menjadi Letnan Satu Czi pada tanggal 15 April 1965. Penugasan pertamanya sebagai letnan satu adalah menjadi Ajudan Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia atau TNI, Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia menggantikan Ajudan sebelumnya, Kapten Kav Adolf Gustaf Manullang yang gugur saat menjalankan tugas dalam misi perdamaian di Kongo tahun 1963.
Semasa tugasnya sebagai Ajudan Nasution, Tendean kerap kali menjadi sorotan terutama kaum wanita karena wajah Indonya yang tampan. Hal tersebut biasanya terjadi saat Nasution memberi ceramah atau seminar di lembaga maupun universitas tertentu. Hingga ada istilah yang berlaku saat itu yang mengatakan bahwa telinga mereka untuk Pak Nas, tetapi mata mereka untuk ajudannya.
Termasuk salah satu kenangan terakhir Nasution bersama Tendean yang terjadi sepekan sebelum G30S atau sekitar tanggal 23 September 1965. Saat itu Tendean bertugas mendampingi Nasution yang memberikan ceramah kepada satu batalyon Resimen Mahasiswa Mahawarman di kampus Universitas Padjajaran. Nasution mengatakan saat itu Tendean yang berparas ganteng terus menjadi sasaran kerumunan para mahasiswi.
Tidak ada yang menyangka bahwa tanggal 1 Oktober 1965 menjadi hari terakhir bagi Tendean. Pada dini hari di tanggal tersebut, pasukan Resimen Cakrabirawa yang merupakan pasukan Gerakan 30 September atau G30S mendatangi rumah dinas Nasution dengan maksud untuk menculik Jenderal Besar tersebut. Tendean yang saat itu sedang terlelap di ruang belakang rumah dinas Nasution terbangun saat mendengar suara tembakan dan keributan di bagian depan rumah.
Tendean pun kemudian mengorbankan dirinya dan mengakui bahwa dirinya adalah Jenderal Nasution. Pasukan G30S pimpinan Pembantu Letnan Dua atau Pelda Djahurup pun kemudian menangkap Tendean dan membawanya ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya untuk dikumpulkan bersama-sama dengan enam perwira tinggi lainnya, Soeprapto, Soetojo dan Parman yang masih hidup saat itu, serta Ahmad Yani, D. I. Panjaitan, dan M. T. Harjono yang sudah tewas dibunuh.
Menurut penuturan anggota Resimen Cakrabirawa bernama Supandi, Tendean kemudian disuruh berjongkok dan ditembak di belakang kepalanya sebanyak empat kali. Tubuhnya yang berlumur darah kemudian diseret dan dibuang ke sebuah sumur tua bersama keenam jasad perwira tinggi lainnya. Tindakan heroik Tendean menyelamatkan nyawa Nasution yang berhasil melarikan diri.
Atas jasa pengorbanannya tersebut, Tendean pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta bersama keenam perwira tinggi lain yang tewas saat peristiwa Gerakan 30 September. Selain itu pemerintah pun menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 dengan berdasar pada Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111/KOTI/Tahun 1965. Tendean juga dipromosikan secara anumerta menjadi Kapten, dan juga diberikan penghargaan lain berupa pemberian nama beberapa jalan sesuai namanya, seperti di Manado, Balikpapan dan juga Jakarta serta dikeluarkannya Perangko Pierre Tendean pada tahun 1966.
Patriotisme serta nasionalisme Tendean terlihat jelas dengan pengorbanannya saat peristiwa G30S. Akan tetapi hal tersebut sudah ditunjukkan Tendean sejak muda dimana walau dirinya kerap diejek sebagai kaum Indo, namun nasionalismenya tidak pernah luntur. Tendean tetap mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan kerap menunjukkan sikap nasionalismenya yang sekaligus merupakan perjuangan pengakuan identitas diri.
Sikap serta kepribadian Tendean tersebut sangat dipengaruhi peran ayahnya, Aurelius Lammert Tendean yang merupakan teladan utama Tendean. Sebagai seorang dokter spesialis jiwa, Aurelius dikenal sebagai seorang yang humanis. Hal tersebut terbukti saat surat kabar De Locomotief Samarangsch handels en advertentie blad di edisi 26 Januari 1955 menuliskan bahwa Aurelius yang saat itu menjabat Kepala Rumah Sakit Jiwa Tawang yang kini dikenal dengan nama RSJ dr. Amino Gondohutomo di Semarang menggratiskan pelayanan kesehatan.
Alasannya adalah karena saat itu negara mengalami situasi paceklik ekonomi-politik setelah mengecap 10 tahun kemerdekaan yang mengakibatkan peningkatan jumlah pasien. Tentu saja peningkatan jumlah pasien tersebut membawa masalah bagi rumah sakit karena saat itu kapasitas rumah sakit hanya bisa untuk menangani 200 pasien ditambah juga dengan fakta bahwa Aurelius merupakan satu-satunya dokter dan hanya dibantu 11 perawat.
Selain itu Aurelius juga sempat memutuskan untuk menekan biaya perawatan di rumah sakit pimpinannya di awal September 1955. Padahal menurut surat kabar Java-bode nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indië edisi tanggal 31 Agustus 1955 menuliskan sebelum keputusan dibuat, RSJ Tawang mengalami lonjakan pasien yang disertai juga dengan pembengkakan biaya. Namun Aurelius tetap memutuskan untuk mengumumkan bahwa mulai tanggal 1 September 1955 biaya perawatan sebesar Rp. 7,50 yang kemudian seiring waktu naik menjadi Rp. 10,50.
Kedermawanan serta humanis dan pengabdian Aurelius tersebut pun kemudian menurun kepada putranya Tendean. Hingga tidaklah mengherankan kalau Tendean berani mengorbankan dirinya demi keselamatan atasannya tersebut.
Demikian sekilas informasi terkait biografi Pierre Tendean, semoga jasa dan pengorbanannya bisa diteladani para generasi penerus bangsa Indonesia serta patriotisme dan nasionalismenya terhadap Indonesia juga ditiru dan diikuti masyarakat Indonesia.