Menurut desainnya, ranjau anti heli ini bertujuan untuk menghambat pergerakan infiltrasi tentara musuh yang diturunkan menggunakan helikopter yang terbang dengan rendah. Ada bermacam-macam sensor yang digunakan pada ranjau anti helikopter ini, mulai dari sensor yang berbasis hembusan angin hingga sensor gerak yang menggunakan sistem infra merah.
Yang paling simple menggunakan sensor berbasis hembusan angin yang berasal dari baling-baling heli. Sistem sensor ini pernah dikembangkan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbangal) TNI AL di tahun 1993. Proritipe pertamanya dilengkapi sejenis antena kecil untuk pemicu jika ada hempasan angin yang berasal dari helikopter terbang rendah. Jika antena kecil ini bergerak terkena hempasan angin, maka secara otomatis akan memicu ledakan fragmentasi yang dapat berakibat fatal pada helikopter itu. Tak hanya heli yang akan hancur, tetapi juga pasukan yang berada di darat pun bisa terkena ledakannya.
Bedanya dengan ranjau darat, ranjau heli dipasang di permukaan tanah tetapu corak serta warnanya biasanya dikamuflase. Sistem sensor berbasis hembusan angin ini saat di lapangan memiliki beberapa kendala, seperti antena pemicu yang bisa saja tersentuh oleh binatang atau bahkan warga sipil. Sehingga ranjau heli ini sampai saat ini belum secara resmi digunakan.
Padahal jika melihat peristiwa infiltrasi saat jejak pendapat di Timor Timur serta kerusuhan di Maluku, kerap kali terdapat black flight menggunakan helikopter di wilayah NKRI, jika ranjau heli ini dipasang di wilayah yang rawan dengan pendaratan, seperti pantai, pasti heli penyusup mampu dihancurkan tanpa perlu menunggu jet tempur TNI AU untuk melaksanakan intercept. Untuk mendapat efek penghancur yang besar, biasanya ranjau heli dipasang pada pola melingkar di suatu titik. Jenis lainnya yang lebih modern yaitu menggunakan sensor infra merah, memang akurasinya lebih tinggi tapi biayanya tentu tidak murah.