Friday, November 29, 2024
HomeAlutsistaDrone UAVPenghancuran Pusat Komando Drone, Kenapa Tidak??

Penghancuran Pusat Komando Drone, Kenapa Tidak??

Penghancuran Pusat Komando Drone, Kenapa Tidak?? – HobbyMiliter.com. Pada awal tahun ini kita menyaksikan muncul dan berkembangnya era baru yaitu perang secara aktif menggunakan munisi presisi berupa drone atau pesawat tanpa awak (UAV). Menilik masa lalu bilamana kita mendengar serangan drone atau UAV ini pasti terbayang UAV milik AS yaitu Predator dan versi bersenjatanya yaitu MQ-9 Reaper, namun untuk perang Suriah dan baru-baru ini konflik “benci lama bersemi kembali” Nagorno-Karabakh (untuk selanjutnya akan disingkat NK), pemain baru (tapi lama) muncul yaitu Israel dan Turki.  Kedua pertempuran tersebut menjadi ajang uji coba dan tentunya promosi bagi drone-drone milik kedua negara tersebut.  Gambar dibawah menunjukkan sistahanud Pantsyr di Suriah atau Libya dalam bidikan sebuah UAV.

Pantsyr dalam bidikan drone

Dalam konflik Suriah, Libya dan NK, para pengamat “dimanjakan” dengan rilis berbagai video hancurnya berbagai jenis sasaran oleh drone baik melalui tembakan munisi presisi atau dronenya sendiri menghujam ke sasaran.  Sebaliknya dari pihak yang bertahan juga tak mau kalah membeber dokumentasi penembakan drone, baik ditembak jatuh secara fisik dengan rudal atau artileri pertahanan udara dan secara elektronik dengan pengacau elektronik.  Dalam konflik NK, pihak Azerbaijan menggunakan drone dalam skala relatif besar, sebaliknya pihak militer Armenia relative lebih sedikit dan tidak se-intensif Azerbaijan.  Pihak militer Armenia sendiri pada tanggal 21 Oktober atau 4 hari lalu mengadakan semacam pameran resmi yang menunjukkan prestasi hanud mereka menembak jatuh drone Azerbaijan, seperti pada gambar dibawah.

Drone Azerbaijan yang dijatuhkan oleh Armenia

lebih lanjut mengenai “pameran” UAV yang berhasil dijatuhkan oleh Armenia dapat dibaca disini

Pertanyaan Besar Mengenai Operasi Kontra UAV

Namun demikian pertanyaan besar terbayang di benak penulis “Kenapa kok tidak/sedikit upaya untuk menghancurkan pusat komando drone?”.  Pertanyaan ini yang akan coba dijawab oleh penulis dalam artikel ini, utamanya dalam konteks konflik NK baru-baru ini.

Model operasi pesawat nirawak/UAV

UAV Sendiri dalam operasinya, paling tidak untuk teknologi dewasa ini adalah tidak mungkin beroperasi otonom secara penuh melainkan harus tetap ada suatu ground control atau control darat yang selain dapat mengendalikan drone secara penuh, juga memungkinkan identifikasi sasaran langsung oleh operator.  Ground control ini dapat menghubungi UAV secara langsung melalui antenna yang dimilikinya sendiri atau secara tidak langsung melalui satelit.  UAV taktis sendiri seperti yang digunakan di Suriah, Libya dan NK, dibawah ini adalah contoh salah satu drone ground control station, untuk UAV Bayraktar TB-2.

Stasiun kendali untuk Bayraktar
Stasiun kendali untuk UAV Bayraktar

Stasiun pengendali drone ini sekalipun berada pada sasis swagerak atau yang bersifat portable (dapat dibawa personil, biasanya untuk UAV jarak pendek, dibawah 100 km) harus memiliki Line of Sight atau pandangan langsung ke drone yang dikendalikan olehnya, hal ini akan dapat membatasi ketinggian dimana drone itu dapat terbang dan jarak dimana drone ini dapat terus terawasi oleh stasiun darat, seperti pada illustrasi berikut.

Batas cakrawala
Batas cakrawala untuk Stasiun kendali UAV didarat

Apa yang bisa didapat dari menghancurkan pos komando UAV ?

Dalam konteks konflik NK, Libya dan Suriah, adanya batasan ini seharusnya dapat memungkinkan geolokasi, serangan dan penghancuran terhadap stasiun kendali darat tersebut. Efeknya menurut penulis tentu akan “lebih hebat” daripada sekedar menembak jatuh UAV yang tanpa awak yang cenderung murah dari segi harga dan tidak melibatkan nyawa manusia.

Hancurnya sebuah stasiun kendali drone bukan hanya dapat menimbulkan korban jiwa dan material namun juga hilangnya kapabilitas intelijen lalu cakupan serangan drone untuk area dimana stasiun kendali tersebut beroperasi.  Dampak psikologi yang dapat dirasakan adalah hilangnya rasa aman, dimana bilamana drone tertembak jatuh operator masih bisa merasa “lega” sebaliknya dengan hancurnya pusat komando, maka “rasa aman” tersebut akan hilang dan menunjukkan bahwa lawan masih bisa menjangkau posisinya.

Opsi yang “seharusnya” dapat digunakan dalam operasi kontra UAV.

Dalam konflik NK, Libya dan Suriah, selain daripada kesamaan dalam penggunaan drone dan ketidak-adaan upaya menghancurkan pusat komando drone tersebut, bisa dilihat bahwa faksi yang bertikai adalah sama-sama memiliki asset serangan jarak jauh dan “cepat” berupa rudal balistik.  Armenia dalam hal ini memiliki asset berupa rudal Iskander-E (4 peluncur versi SIPRI) dan rudal Tochka U (40 unit Peluncur versi SIPRI).

Dhimas Afihandarin
Dhimas Afihandarinhttp://stealthflanker.deviantart.com
Pecinta militer, terutama yang berkaitan dengan topik Pertempuran elektronika dan desain alutsista.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Baca Juga

Team Aerobatic Jepang, Blue Impulse dengan T-2 sebagai tunggannya.

Mengenal Mitsubishi T-2, Pesawat Jet Tempur Latih Buatan Jepang

0
Mengenal Mitsubishi T-2, Pesawat Jet Tempur Latih Buatan Jepang - HobbyMiliter.com - Boleh saja Jepang jadi pecundang dalam PD II dan berujung semua teknologi...