Hobbymiliter.com – PPA Datang, Jangan Senang Dulu. Kemarin malam, jagat antusias militer Indonesia dikejutkan dengan dua foto penampakan kapal perang multi-peran jenis Frigate Pattugliatore Polivalente d’Altura atau PPA pesanan TNI Angkatan Laut yang saat ini sudah mulai diberi nomor lambung serta tulisan nama kapal masing-masing. Dalam foto yang beredar tampak kedua kapal perang PPA pesanan Angkatan Laut Indonesia ini sudah tertulis nama kapal di masing-masing lambung kapal. Kedua kapal tersebut yakni KRI Brawijaya dengan nomor lambung 320, dan KRI Prabu Siliwangi dengan nomor lambung 321. Munculnya foto-foto yang menunjukkan wujud kapal PPA pesanan Indonesia ini tentu disambut dengan gegap gempita dan sorak sorai kebahagiaan serta rasa syukur oleh hampir seluruh pegiat antusias militer di Indonesia. Namun, dibalik riuh ramai nya pemberitaan soal foto-foto kapal perang PPA pesanan Indonesia ini, ada baiknya kita mencermati beberapa sektor lain di lingkungan TNI Angkatan Laut yang perlu mendapat perhatian serta perubahan serius seiring dengan hadirnya kapal perang terbaru dan terbesar di jajaran armada kapal perang milik TNI Angkatan Laut itu. Bersama dengan penulis, kita simak hal-hal penting yang perlu diperhatikan terkait dengan hadirnya kapal perang PPA di jajaran armada TNI-AL dalam artikel singkat berikut.
PPA, Kapal Perang Canggih Dengan Tingkat Otomatisasi yang Tinggi
Hal pertama yang perlu dicermati dengan hadirnya kapal perang modern seperti PPA di dalam jajaran armada TNI-AL adalah bahwa PPA merupakan kapal yang tidak hanya modern dari sisi sistem persenjataan, tetapi juga datang dengan mengusung tingkat otomatisasi yang tinggi. Berdasarkan pengalaman penulis saat on board di atas salah satu unit PPA dengan konfigurasi yang sama dengan yang dibeli TNI-AL, yakni ITS Raimondo Montecuccoli P432, penulis menyaksikan betapa hampir semua pergerakan komponen dan sistem yang ada di kapal ini sudah ter-otomatisasi dan dikendalikan secara terpusat atau centralized melalui konsol-konsol komputer yang ada di ruang kendali baik itu kendali propulsi, kendali sistem pintu-rampa kapal, hingga kendali sistem alat bidik dan sistem senjata pada kapal perang tersebut.
Lalu, apa artinya? Jelas, kehadiran kapal-kapal perang seperti PPA (dan Frigate-Frigate yang akan datang) harus bisa diantisipasi TNI-AL dengan terus berupaya mengasah dan meningkatkan kemampuan calon awak kapal perang baru di bidang penguasaan teknologi otomatisasi berbasis komputer, serta mulai membiasakan pola pikir baru bahwa didalam proses pengembangan serta produksi dan pengoperasian kapal-kapal kombatan atas permukaan air dewasa ini hampir semua fungsi sudah menganut otomatisasi dimana keberadaan personel awak kapal nantinya boleh jadi akan semakin sedikit di tiap-tiap kapal karena tingkat otomatisasi nya sudah tinggi dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada konsep “padat karya” dimana suatu kapal perang diawaki oleh banyak awak kapal. Membiasakan pola pikir baru ini akan mempermudah transisi TNI-AL dari kapal-kapal kombatan yang mayoritas ada saat ini (hasil produk teknologi tahun 80-90-awal 2000-an) menuju kapal-kapal kombatan baru yang mengadopsi sistem manajemen pertempuran yang lebih modern dan dinamis.
Pola Pikir Baru Dalam Lingkup Maintenance Kapal Seiring Hadirnya PPA
Kapal perang jenis Frigate multi-peran PPA yang dibeli oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat TNI Angkatan Laut, disamping memiliki tingkat otomatisasi yang tinggi dan sistem senjata yang canggih, juga memiliki sistem deteksi kerusakan serta sistem penilaian kerusakan akibat pertempuran atau Battle Damage Assessment System yang modern, canggih, dan dibekali dengan unsur kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Sistem ini dapat mendeteksi bagian/komponen mana saja di kapal yang sudah mendekati waktu habis pakai (Near Life-cycle End) dan atau mengalami kerusakan (Damaged) dan secara otomatis akan memberi informasi kepada pengawak kapal (dalam hal ini Engineering Chief atau Kepala Departemen Mesin/Kadepsin di TNI-AL) serta Komandan Kapal (Dan KRI).
Di satu sisi sistem ini akan memudahkan Komandan kapal dalam menjadwalkan kalender perawatan kapal rutin atau Routine Maintenance Period pada masa damai, serta jika digunakan dalam kondisi perang, maka akan memudahkan penilaian atas kerusakan kapal akibat pertempuran sehingga keputusan Komandan apakah kapal perang ini tetap beroperasi dan bertempur atau berlayar kembali ke markas dapat dibuat lebih cepat berdasarkan pertimbangan taktis di lapangan. Akan tetapi, perlu diingat juga, dengan hadirnya sistem Damage Assessment dan AI yang membantu jalannya sistem tersebut, maka perlu dipikirkan pula soal mekanisme pengajuan perawatan baik dari sisi penjadwalan atau Maintenance Scheduling maupun dari sisi pengadaan suku cadang (Sparepart Acquisition). Sepengetahuan penulis, mekanisme pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan pemeliharaan dan perawatan atau Harwat kapal perang tidaklah sederhana. Banyak tahapan yang harus dilalui sampai suatu kapal perang itu dapat menjalani pemeliharaan dan perawatan di dok (Docking). Artinya, jangan sampai timbul penundaan atau Delay dan waktu tunggu atau Lead Time terhadap pengadaan barang dan jasa harwat kapal perang modern sekelas PPA ini. Dalam hemat penulis, jika peringatan dan notifikasi dari sistem analisa kerusakan dan perawatan kapal yang sudah dibantu pula dengan AI atau kecerdasan buatan ini tidak segera ditindaklanjuti karena panjangnya birokrasi pengadaan barang dan jasa pemeliharaan dan perawatan (Harwat), akan sangat fatal akibatnya terhadap performa dan kesiapan tempur dari unsur kapal perang terbaru milik TNI Angkatan Laut ini.

Sumber : Blog Aresdifesa Italia.
PPA Membuka Jalan Ke Doktrin dan Konsep Operasi yang Baru
Salah satu sistem senjata yang terpasang pada kapal-kapal PPA pesanan Indonesia dan menurut penulis cukup vital perannya adalah adanya 16 tabung sel peluncur rudal vertikal jenis SYLVER A50 VLS. Sistem SYLVER A50 VLS dapat menembakkan beberapa jenis rudal pertahanan udara (Hanud) diantaranya rudal hanud jarak pendek-menengah Aster 15, serta rudal hanud jarak menengah-jauh Aster 30. Khusus untuk Aster 30 sendiri, ada tiga varian yang sudah beredar yakni Aster 30 Block 0 sebagai varian dasar/awal, kemudian Aster 30 Block 1 sebagai varian dengan kemampuan anti rudal balistik jarak pendek (rudal balistik dengan jarak jangkau maksimal 600km bisa dihadapi oleh rudal Aster 30 Block 1 ini), dan yang paling canggih untuk saat ini adalah Aster 30 Block 1 NT (New Technology) yang mampu menghadang rudal balistik jarak pendek dan menengah (rudal balistik dengan jarak jangkau maksimal 1.500km bisa dihadapi oleh rudal Aster 30 Block 1 NT ini).
Hadirnya sistem senjata yang baru ini membuat TNI Angkatan Laut dapat memperoleh akses ke penerapan doktrin operasi dan konsep operasi pertahanan dari serangan rudal balistik milik lawan-lawan potensial nya. Ballistic Missile Defense atau BMD merupakan suatu kapabilitas yang baru bagi TNI-AL setelah selama ini hanya cenderung berkutat pada operasi pertahanan udara jarak pendek dan menengah (menggunakan rudal VL-MICA pada VLS kapal-kapal perang jenis Frigate kelas R.E Martadinata/SIGMA 10514). Dengan datangnya kapal perang jenis Frigate multi-peran PPA, besar harapan penulis agar TNI-AL mulai mempraktekkan konsep-konsep operasi pertahanan dari ancaman rudal balistik sehingga terbentuk pemahaman dan kemampuan tempur yang lebih dinamis, modern, serta Up To Date sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi militer.
Sistem Propulsi CODAGOL, Tantangan Baru Untuk TNI-AL
Kapal-kapal perang jenis Frigate multi-peran kelas Brawijaya, diperlengkapi dengan sistem propulsi yang cukup unik. Merujuk pada informasi dari Fincantieri, sistem propulsi penggerak kapal yang dipasang pada kedua kapal perang PPA pesanan Indonesia ini mengadopsi sistem Combined Diesel And Gas Or Electric / CODAGOL. TNI-AL pernah memiliki pengalaman mengoperasikan mesin gas turbin pada medio tahun 1980-an beberapa kapal perang, diantaranya kapal cepat kelas Mandau (General Electric-Fiat LM-2500) dan kapal Korvet kelas Fatahillah (Rolls-Royce Olympus TM-3B). Hadirnya kapal perang jenis Frigate multi-peran PPA kelas Brawijaya kembali membawa mesin gas turbin (General Electric-Avio LM-2500+G4 jika mengacu pada kapal-kapal PPA milik AL Italia, yang harusnya spesifikasinya sama dengan yang akan dipakai TNI-AL) sebagai salah satu unsur sistem propulsi penggerak kapal di jajaran armada TNI-AL.
Lalu, apa tantangannya??? Tentu, pengoperasian mesin gas turbin yang terpasang pada kapal-kapal perang kelas Brawijaya sangat krusial bagi TNI-AL untuk kembali mengoperasikan mesin gas turbin setelah sebelumnya dominan hanya menggunakan mesin diesel sebagai mesin penggerak kapal/MPK. Efeknya, pengawak kapal terutama Departemen Mesin tentu harus mendapat pelatihan pengoperasian sebagai bentuk transfer teknologi dan ilmu pengetahuan (Knowledge & Technology Transfer). Disamping sisi keilmuan dan pengalaman operasi, hadirnya mesin gas turbin kembali ke kapal perang di jajaran armada TNI-AL melalui PPA, akan menjadi batu pijakan bagi TNI-AL jika kedepan TNI-AL resmi membeli dan mengoperasikan Frigate-Frigate lain dari berbagai sumber (Frigate Merah Putih/FMP; FREMM) yang sama-sama mengadopsi sistem propulsi Combined Diesel And Gas / CODAG. Standar Prosedur Operasi (SOP) penggunaan sistem propulsi gas turbin pada kapal-kapal perang kelas Brawijaya dapat digunakan sebagai contoh kasus dan sumber rujukan pengembangan standar untuk pengoperasian sistem propulsi gas turbin pada kapal-kapal perang lainnya yang akan dibeli atau memperkuat TNI-AL dan memiliki sistem propulsi yang sama.
Re-Training, Menjaga Keberlanjutan Knowledge Dari Pengawak Awal PPA
Hadirnya kapal-kapal perang kelas Brawijaya ke jajaran armada milik TNI-AL juga mengingatkan kita akan pentingnya re-training atau pelatihan ulang bagi awak kapal yang kedepannya mungkin akan mendapat rotasi penugasan di kapal perang kelas Brawijaya. Menurut hemat penulis, diperlukan adanya suatu standar dan set pelatihan yang harus diajarkan apabila terjadi rotasi atau pergeseran pengawak kapal dari yang sebelumnya mengawaki kapal perang lainnya di jajaran TNI-AL menjadi awak KRI Brawijaya, dan sebaliknya. Budaya re-training ini harus mulai digalakkan tidak hanya di kapal-kapal kelas Brawijaya saja, melainkan di seluruh unsur armada kapal perang yang ada di jajaran TNI-AL. Harapan penulis, jangan sampai terjadi kasus dimana awak kapal tidak mengerti dan tidak mengenali kapal yang diawakinya, sehingga menurunkan performa dan kesiapan tempur dari unsur kapal perang tersebut.
Besar harapan penulis dengan hadirnya kapal perang multi-peran jenis Frigate Pattugliatore Polivalente d’Altura atau PPA di jajaran armada TNI-AL, hadir pula berbagai kebijakan baru yang membangun dan mereformasi TNI Angkatan Laut menuju ke arah yang lebih baik lagi. Mari bersama kita wujudkan visi World Class Navy yang dicanangkan TNI-AL dengan tetap memastikan ritme modernisasi yang berjalan tidak hanya dari segi Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) yang diakuisisi, tetapi juga dari segi pola pikir, konsep operasi, dan doktrin operasi juga harus mengalami modernisasi agar pengembangan postur kekuatan dan pengembangan kemampuan tempur TNI Angkatan Laut dapat berjalan dengan seimbang.
Catatan kaki : Tulisan ini murni merupakan opini penulis dengan beberapa informasi dan data faktual yang sifatnya publik serta diperoleh dari berbagai sumber terpercaya.
Trus larbugnya penulis setelah ppa datang?