“Sewaktu Susdaryanto menjadi perwira pemetaan, tahun 1976 berhubungan dengan Vladimir yang berkantor di Tanjung Priok sebagai agen kapal-kapal Soviet di Indonesia. Perkenalan bermula dari niat Vladimir membeli peta laut guna mensuplai kapal-kapalnya yang berlayar di Indonesia,” tulis majalah spion dan wanita, Spionita, No. 014, Agustus 1984.
Susdaryanto memenuhi pesanan Vladimir dan mendapatkan imbalan Rp50.000. Selama setahun (1976-1977), Susdaryanto menyerahkan dokumen-dokumen penting antara lain laporan dan perjanjian survey Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang (Memorandum of Procedure Survey Operation); rencana kerja Janhidros (Jawatan Hidro Oseanografi) TNI AL, dan laporan bulanan operasi/survey Hidros untuk setahun. Untuk dokumen tersebut, Susdaryanto menerima imbalan sebesar Rp600.000.
Vladimir digantikan Yuri. Susdaryanto berhubungan dengan Yuri kurang lebih dua tahun (1977-1979). Selanjutnya, Yuri digantikan Robert yang merupakan identitas samaran dari Alexander Finenko pada September 1979. Biasanya mereka bertransaksi di restoran hotel atau supermarket.
Kepada Yuri dan Robert, Susdaryanto meyerahkan dokumen-dokumen terkait laporan internal TNI AL, seperti laporan tahunan Jahindros, juklak (petunjuk pelaksanaan) anggaran, laporan bulanan intelelijen Spam (staf umum pengamanan) Kasal (dalam dan luar negeri), dan laporan bulanan staf operasi Kasal.
Selain itu, Susdaryanto juga menyerahkan laporan survey Selat Malaka kerjasama antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang; perjanjian dan laporan survey di Selat Makassar kerjasama Indonesia dan Amerika Serikat; program kerja Jahindros TNI AL; dan laporan survey Amindo Jaya II Joint-Survey.
Robert (Finenko) kemudian diganti oleh Wito (Egorov). Dalam pertemuan pertama dan satu satunya di Restoran Jawa Tengah tersebut, Wito meminta kepada Susdaryanto data fisik arus, temperatur, kadar garam air laut Selat Makassar dan laut Ambon. Dia juga menanyakan apakah Amerika Serikat telah memasang Early Warning System (EWS) di laut Indonesia. Kalau benar, jenis apa dan dimana EWS diletakkan. Susdaryanto menyatakan tak tahu soal EWS itu. Wito menyerahkan 10 roll film kosong untuk operasi selanjutnya dan uang Rp300.000. Jumlah yang sangat besar di tahun 1981 itu.
“Yang diburu dalam kasus mata-mata Soviet itu (Sergei Egorov dan Susdaryanto, red) antara lain peta dasar laut Selat Ambon dan Selat Makassar –selain keadaan perairan di sekitar Pulau Natuna. Selat Ambon dan Selat Makassar bila dihubungkan dengan Selat Lombok, tak bisa lain, adalah jalur kapal selam Uni Soviet,” tulis Tempo, No. 25 Tahun XIV, 25 Agustus 1984.
Susdaryanto mengakui semua aksi spionasenya bersama mata mata Soviet tersebut kepada majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Barat (Jakarta-Banten). Dia, seperti dikutip Spionita, menjual dokumen-dokumen rahasia milik TNI AL karena “kebutuhan ekonomi, iri kepada teman-teman sekantor yang lebih baik keadaan ekonominya, kepangkatan yang tidak naik-naik, dan keadaan hukum yang tidak menentu sebagaimana sering dibacanya di koran-koran.”
Setelah menjalani enam kali persidangan, pada 22 Agustus 1984, Susdaryanto divonis sepuluh tahun penjara dan dicabut haknya sebagai anggota TNI. Semua barang bukti berupa dokumen-dokumen dan foto serta uang Rp300.000 disita oleh negara.