“Kepada saya, ia (Habibie) sampaikan arahan Pak Harto bahwa Lipnur sudah waktunya di-privatisasi. Saya tak mau menerimanya begitu saja, karena pelaksanaannya harus melalui konsultasi dengan staf, dengan Dephankam, dengan Pangab, dan Asrenum ABRI,” ungkap Saleh. “Di antara staf, banyak yang tidak setuju. Namun di lain pihak, baik Dephankam, Pangab, dan Asrenum, semuanya cenderung menyarankan agar fasilitas seperti Lipnur, juga Pindad, dan sebagainya, sebaiknya dikeluarkan dari struktur organisasi karena hanya akan membebani anggaran Hankam. Ia harus dijadikan semacam industri strategis. Ketua Bappenas pun mengungkap hal yang sama,” tambah Saleh.
Maka tanpa bisa dicegah, bergulirlah pengalihan aset tersebut. Namun agar tak membuat kecewa TNI AU, Saleh Basarah menyodorkan dua permintaan dan keduanya disetujui Habibie. Satu adalah agar nama Nurtanio tetap dipakai, dan dua, sebelum memulai usaha industri, fasilitas ini harus melampaui dulu tahapan sebagai fasilitas perawatan pesawat. Harapannya, dari usaha perawatan pesawat bisa dikumpulkan uang untuk melangkah ke tahapan selanjutnya, yakni industri pesawat – sesuatu yang mestinya begitu diidamkan almarhum Nurtanio. Jika ini tercapai Saleh sendiri ingin fasilitas ini mengawalinya dengan pembuatan pesawat latih. Selain bisa didayagunakan sebagai pesawat COIN, ia bisa terhindar dari risiko tak laku karena bisa digunakan untuk kebutuhan sendiri. Habibie kabarnya juga setuju.