Penggantian nama ‘Nurtanio” menjadi “Nusantara” pada untaian singkatan IPTN adalah contohnya. Membicarakan masalah ini pada saat sedang ada pertentangan mengenai pengadaan helikopter VVIP untuk Skadron Udara 45 memang tidaklah relevan, namun alangkah baiknya mencuplik permasalahan ini sebagai bahan renungan atau introspeksi kita semua ini. Bagaimana bisa nilai-nilai kejuangan dan kepeloporan tokoh kedirgantaraan Indonesia bisa begitu saja dicopot tanpa ada seorang pun insan IPTN mau peduli. Mungkin hanya TNI AU yang memprotes.
Ketika pencopotan nama ‘Nurtanio’ tersebut terjadi pada 1984, segenap Keluarga Besar TNI AU geram dan kecewa menanggapinya. Kegeraman ini masih bertahan hingga sekarang, karena dalam dunia militer: pendahulu yang amat berjasa memang biasa dikenang tanpa tawar-menawar. Bagaimana tega The Founding Father yang merintisnya dari tak ada menjadi ada seolah dilupakan begitu saja oleh penerusnya, tanpa ada yang berani membantah.
Tak kurang dari Marsekal (Purn) Saleh Basarah dan Marsekal (Purn) Ashadi Tjahjadi, dua KSAU yang terlibat dalam masa-masa pengalihan dari Lipnur yang total milik AURI ke IPTN yang dikendalikan penuh oleh B. J. Habibie pada tahun 1976, ikut pula geram campur kecewa. Sesekali terbersit pula rasa bersalah mengapa mereka mengizinkan pengalihan itu. Teguran lisan dan tertulis beberapa kali dilayangkan kepada B. J. Habibie, namun Dirut IPTN ini biasa menjawab, “Itu kehendak Mandataris (MPR, Presiden Soeharto).” Kalau sudah begitu, siapa bisa membantah?
