Kaum Padri semakin murka saat tidak tercapainya kesepakatan dengan Kaum Adat yang juga pemeluk agama Islam saat diminta meninggalkan berbagai kebiasaan buruk tersebut. Karena itulah Perang Padri kemudian pecah di tahun 1803 dan puncaknya pada tahun 1815 saat Kaum Padri pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung. Hal tersebut mendorong Sultan Arifin Muningsyah mundur dan melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Akibat mulai terdesak serta ditambah dengan kenyataan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak jelas, Kaum Adat pun di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar mewakili Kerajaan Pagaruyung tanggal 21 Februari 1821 meminta bantuan pihak Belanda yang di kemudian hari malah semakin memperumit keadaan. Menyadari hal tersebut, Kaum Adat memutuskan untuk berbalik melawan Belanda dan bergabung dengan Kaum Padri sejak tahun 1833, walaupun pada akhirnya Perang Padri ini dimenangkan Belanda.