Pattimura pun kemudian memerintahkan semua raja atau kepala negeri Pulau Saparua dan Pulau Nusalaut di Haria untuk berkumpul. Pertemuan yang dihadiri 21 kepala desa tersebut merumuskan alasan mereka mesti melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam suatu naskah yang terdiri dari 14 pasal.
Adapun isi naskah tersebut antara lain:
- Munculnya desas desus para guru akan diberhentikan dengan alasan penghematan.
- Niat Belanda untuk mengumpulkan para pemuda untuk dijadikan tentara dan ditugaskan ke luar Maluku.
- Cara penggunaan uang kertas oleh Belanda yang dianggap curang dan tidak jujur.
- Upah selama kerja rodi yang tidak pernah dibayar Belanda.
- Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan residen Belanda.
- Kerja rodi yang memaksa membuat garam.
- Dilakukannya cacah jiwa yang diduga berkaitan dengan niat mengirimkan para pemuda sebagai militer ke luar Maluku.
- Rakyat yang sudah mendapat surat bebas kerja rodi masih tetap diwajibkan melakukan kerja rodi.
- Sikap masa bodoh dan tidak acuh Residen atas berbagai keluhan yang diajukan rakyat.
- Upah yang dianggap kurang saat mengantarkan berbagai surat resmi ke Seram.
- Upah yang dianggap kurang saat mengantarkan berbagai surat resmi ke Ambon.
- Kewajiban membuat garam dan ikan tanpa mendapat bayaran upah.
- Kewajiban memelihara kebun pala dan kopi selain kebun cengkeh.
Sasaran perang Pattimura selanjutnya adalah merebut Benteng Zeelandia yang berada di Pulau Haruku dengan bantuan rakyat Haruku. Belanda yang mengetahui rencana Pattimura tersebut menjaga ketat benteng dengan berbagai upaya, seperti terus mengirim bala bantuan tentara serta menugaskan dua kapal perang yaitu De Zwaluw dan Iris dengan Groot sebagai komandan agar terus berpatroli di sekitar Haruku. Hal tersebut membuat Pattimura tidak pernah berhasil merebut benteng itu.
Belanda juga berusaha mengendalikan perlawanan di Saparua dengan mengadakan berbagai perundingan antara Groot dan para pemuda yang dipimpin Pattimura. Namun tidak tercapai kesepakatan hingga akhirnya Groot mengerahkan pasukan dengan tujuan merebut kembali Benteng Duurstede yang berakhir dengan keberhasilan Belanda merebut benteng itu tanggal 3 Agustus 1817.
Tindakan Groot selanjutnya adalah melakukan blokade ketat di sekitar Pulau Saparua dengan antara lain menghadang masuknya bahan makanan dari Seram yang menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Akan tetapi Belanda tetap belum berhasil menaklukkan rakyat Saparua yang terus gigih melakukan perlawanan.
Hal tersebut mendorong gubernur Ambon menyerahkan masalah itu pada Batavia yang kemudian memerintahkan Admiral A. A. Buyskes selaku panglima angkatan laut untuk pergi ke Ambon guna merebut kembali Pulau Saparua.
Sebelum berangkat ke Pulau Saparua, Buyskes singgah ke Ternate dan Tidore yang merupakan sekutu Belanda dan mendapatkan bantuan 20 kora-kora atau kapal perang beserta 1.500 pasukan. Dengan pasukan besarnya, Buyskes kemudian memblokade Saparua sejak pertengahan Oktober dan mulai mengerahkan pasukan untuk mendarat di sana sejak awal November.
Walaupun berbagai negeri di pulau Saparua tersebut terus melakukan perlawanan dengan gigih, namun satu per satu mulai jatuh ke tangan Belanda.
Perang Pattimura yang berlangsung selama kurang lebih 8 bulan itu menyebabkan jatuhnya korban ratusan jiwa tewas dan penangkapan Pattimura oleh pasukan Belanda saat dirinya diajak berunding oleh Belanda namun menolak.
Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimura dihukum gantung oleh Belanda di Benteng New Victoria yang berada di Ambon. Pattimura yang tidak kenal menyerah pun berucap bahwa walau Pattimura-Pattimura tua dihancurkan, namun kelak akan bangkit Pattimura-Pattimura muda. Demi menghormati serta mengenang jasa Pattimura dalam sejarah perang tersebut, pemerintah mengukuhkan dirinya sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan serta mengabadikan namanya menjadi nama Bandara dan juga nama Universitas.