Konsep LRG, Ide Potensial Untuk Indonesia?
Setelah mengenal dan mempelajari secara singkat konsep Littoral Response Group atau LRG yang digunakan oleh Royal Navy, penulis melihat adanya potensi yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dalam kaitannya dengan perumusan dan penggunaan LRG sebagai bentuk kesatuan pasukan reaksi cepat amfibi. Sebagai negara kepulauan Indonesia sudah pasti harus memiliki kekuatan militer matra laut yang kuat dan disegani baik oleh lawan potensial Non State Actor (Aktor Non-Negara) maupun lawan potensial State Actor (Aktor Negara). Konsep LRG menurut penulis sangat memungkinkan untuk diminiaturisasi dan diterapkan dengan menyesuaikan kondisi TNI Angkatan Laut saat ini.
Sebagai basis awal gagasan, kita tentu mengetahui bahwa TNI Angkatan Laut saat ini memiliki dan mengoperasikan armada kapal perang khusus operasi amfibi jenis Landing Platform Dock atau LPD dalam jumlah yang cukup lumayan, meski mungkin masih dapat dibilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah pulau utama dan luas area perairan yang harus dijaga, TNI Angkatan Laut pada faktanya mengoperasikan tidak kurang dari lima unit kapal perang khusus operasi amfibi jenis LPD. Sebenarnya secara faktual TNI AL memiliki dan mengoperasikan sebanyak delapan unit kapal perang dari jenis LPD. Akan tetapi, tiga unit dari keseluruhan armada kapal LPD milik TNI AL tersebut merupakan kapal LPD yang dirancang dan dibangun sebagai kapal Bantu Rumah Sakit atau BRS (Hospital Ship,red).
Nah dari fakta tersebut, timbul gagasan penulis untuk mencoba menyesuaikan dan melakukan miniaturisasi konsep LRG dengan mengacu pada kondisi TNI Angkatan Laut masa ini (2023,red). Indonesia dalam hal ini TNI Angkatan Laut, dalam pandangan penulis, dapat membangun gugus tugas Marinir reaksi cepat yang dapat dijadikan sebagai salah satu unsur Pasukan Pemukul Reaksi Cepat Matra Laut. Gugus tugas ini dapat dibangun berpusat pada satu unit kapal komando/kapal markas yakni sebuah kapal perang khusus operasi amfibi jenis Landing Platform Dock dari kelas Makassar batch ke-1 (bisa menggunakan KRI Makassar 590 atau KRI Surabaya 591) dengan dukungan satu unit kapal Bantu Cair Minyak (BCM) kelas Tarakan, serta satu unit kapal pengawal yakni kapal perang kombatan permukaan dari jenis Korvet (Bisa menggunakan kapal perang jenis Korvet kelas Diponegoro, atau kelas Bung Tomo). Untuk unsur bantuan pergerakan mobilitas pasukan dari udara dapat disiagakan pula dua unit helikopter Bell 412 milik Pusat Penerbangan Angkatan Laut atau Puspenerbal yang bisa standby onboard pada kapal markas/kapal komando. Terakhir sebagai unsur utama pasukan khusus pemukul reaksi cepat matra Laut, dapat disiagakan sebanyak 2 kompi pasukan dari Batalyon Intai Amfibi (Yontaifib) Korps Marinir dengan jumlah kurang lebih hingga 200 orang personel lengkap dengan peralatan tempur pendukungnya yang juga diangkut dalam dek amfibi kapal markas/kapal komando.
Dengan meminiaturisasi konsep LRG yang dimiliki Royal Navy, TNI Angkatan Laut dan Korps Marinir dapat menempatkan unsur pasukan khusus matra laut yang dimilikinya (dalam hal ini Yontaifib) lebih ke depan (forward deployed) dengan pangkalan aju di dekat wilayah yang berpotensi timbul konflik keamanan skala terbatas (contoh wilayah Indonesia bagian timur,red) dan dapat merespon potensi ancaman krisis atau konflik keamanan di wilayah tersebut dengan cepat, tanpa harus menunggu proses pergeseran pasukan dari wilayah induk satuan (dalam hal ini Surabaya, misalnya sebagai markas Komando Armada II dan markas Batalyon Intai Amfibi-2 Pasukan Marinir-2 Korps Marinir). Meski saat ini sudah terbentuk tiga Komando Armada, tentu kita semua tahu bahwa kondisi aktual saat ini persebaran kekuatan TNI khususnya TNI Angkatan Laut di wilayah Indonesia bagian Timur dibawah naungan Komando Armada III masih kurang memadai karena kekuatan pokok yang dimiliki oleh Komando Armada III lengkap dengan unsur Batalyon Intai Amfibi-3 Pasmar-3 sejatinya sebagian besar merupakan unsur-unsur yang digeser kedudukannya dari Koarmada II dan Pasmar-2 Surabaya.
Selain itu, hadirnya konsep miniaturisasi LRG dalam pandangan pribadi penulis dapat digunakan oleh TNI Angkatan Laut dan Korps Marinir dalam rangka ujicoba penggelaran kekuatan militer matra laut yang fleksibel dalam bentuk gugus tugas amfibi siap tempur. Fleksibilitas dan tingkat kesiapan yang tinggi dari gugus tugas amfibi siap tempur ini niscaya dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi serta mampu menjadi back-up solution terhadap konsep Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI yang sebelumnya sudah dibentuk. Harapan penulis, pada akhirnya kiranya TNI secara keseluruhan dan TNI Angkatan Laut serta Korps Marinir secara khusus dapat senantiasa memperhatikan perkembangan satuan-satuan militer negara lain yang mungkin konsepnya dapat kita contoh dengan menyesuaikan kebutuhan taktis dan strategis di lingkungan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, mengingat kita juga merupakan salah satu pemain kunci stabilitas geopolitik, pertahanan dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.